Review Formula 1 Drive to Survive S3: Menghibur, tapi Kurang Lengkap

Musim terbaru dokumenter F1 Netflix, Drive to Survive, sudah ditayangkan sejak Jumat. Usai menonton seluruh episode, ini review saya untuk Season 3.
Review Formula 1 Drive to Survive S3: Menghibur, tapi Kurang Lengkap

Dengan musim F1 2021 hampir di depan mata, film dokumenter Formula 1 Netflix Drive to Survive adalah cara yang tepat untuk membangkitkan adernalin jelang akhir pekan GP Bahrain.

Seperti dua musim sebelumnya, Drive to Survive Season 3 memiliki 10 episode,  dan membahas berbagai hal alur cerita penting yang muncul selama F1 musim 2020.

Kembali diproduksi oleh Box to Box Films, Drive to Survive mengemas kehidupan paddock F1 ke dalam sebuah dokumenter. Dan Season 3 menghadirkan dinamika berbeda dengan COVID-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Remote video URL

Episode pertama musim ketiga berjudul 'Ca$h is King' - judul yang terinspirasi tanggapan Lewis Hamilton ketika ditanya kenapa F1 tetap berangkat ke Australia untuk balapan, sedang kompetisi lain meliburkan kompetisi karena pandemi.

Plotnya dimulai dengan polemik seputar Racing Point bersama pemilik barunya, Lawrence Stroll, mereka meluncurkan mobil RP-20 yang kontroversial. Beberapa tim menuduh RP mencontek desain mobil Mercedes musim 2019, sehingga mobil tersebut diejek sebagai 'Pink Mercedes.'

Beberapa pekan berselang, para pembalap sudah berada di Australia dan tengah bersiap untuk balapan. Namun pada akhirnya balapan ditunda akibat beberapa anggota tim McLaren dan Haas terjangkit COVID-19.

Virus telah menyebar sangat cepat, dan pikiran kita serasa kembali pada fase lockdown yang panjang dan membosankan sejak bulan April. Di sini, penulis merasa ada beberapa hal menarik dan bisa disisipkan. Mulai dari livery Mercedes-AMG mendadak hitam, dan bagaimana para pembalap menghabiskan lockdown.

Episode kedua berjudul 'Back on Track' saat musim 2020 akhirnya kembali bergulir di Austria, adapun episode ini fokus ke persaingan antara bos Mercedes, Toto Wolff, dan Christian Horner.

Horner terkenal sebagai sosok nyinyir, hal ini jelas bersebrangan dengan Wolff, yang terkenal dingin, tenang, dan percaya diri. Tak heran ia menjadi aktor di balik dominasi Mercedes sejak 2014. "Kami berbicara di trek," kata Wolff menanggapi Horner soal fitur DAS di Mercedes W11.

Kilasan ini bisa menjadi preview menarik antara rivalitas Wolff dan Horner di tahun 2021, mengingat Mercedes serta Red Bull akan kembali jadi protagonis titel juara dunia, baik itu pembalap ataupun konstruktor, tahun ini.

Eksplorasi karakter dan hubungan tertentu, seuatu yang biasanya tidak kita dapatkan di akhir pekan balapan yang ada di TV, jadi salah satu daya tarik serial dokumenter satu ini. Salah satunya reaksi emosional Cyril Abiteboul terhadap Daniel Ricciardo yang pindah dari Renault ke McLaren di episode lima menampilkan sisi lain, bahwa mau bagaimanapun juga, team principal sebuah tim F1 juga juga masih manusia.

(L to R): Cyril Abiteboul (FRA) Renault Sport F1 Managing Director with Daniel Ricciardo (AUS) Renault F1 Team.
(L to R): Cyril Abiteboul (FRA) Renault Sport F1 Managing Director with…
© xpbimages.com

Di episode tiga, fokus tertuju pada Valtteri Bottas (atau mungkin Bot-ass) yang membahas soal dinamika sebagai rekan satu tim Lewis Hamilton. Bottas mengungkapkan dirinya sempat mempertimbangkan untuk gantung helm setelah kontroversi team order GP Rusia 2018, dan ambisi untuk membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar wingman.

Box to Box secara tepat menggambarkan keretakan hubungan Sebastian Vettel dengan Ferrari di episode keempat. Disisi lain, sulit untuk mencerna rivalitas Lando Norris dan Carlos Sainz di McLaren pada episode selanjutnya.

"Sarung tangan dilepas," ujar Jurnalis Will Buxton saat menjelaskan hubungan Norris dan Sainz memasuki tahun 2020. Narasi seperti ini rasanya lebih tepat menggambarkan rivalitas ala Ayrton Senna - Alain Prost, atau Sebastian Vettel - Charles Leclerc, jika referensi sebelumnya terlalu "tua".

Mengingat bromance keduanya yang terlihat sangat jelas, penggambaran berlebihan rivalitas Sainz-Norris jelas membuat penonton yang mengikuti F1 terheran-heran.

Tak kalah menariknya juga soal "The Comeback Kid" Pierre Gasly, ia bangkit dari keterpurukan demosi ke Toro Rosso (sekarang AlphaTauri) dan kehilangan Antoine Hubert, sahabat baiknya, yang meninggal saat balapan F2 Belgia, dengan memenangi F1 GP Italia yang sensasional.

Dari 10 episode ini, jelas episode "Man on Fire" menjadi episode terbaik Drive to Survive Season 3. Memang, kita semua sudah mengetahui bagaimana akhirnya. Namun, tetap saja melihat kembali insiden kecelakaan berapi yang menimpa Grosjean di Bahrain memberi saya rasa takut dan perasaan emosional yang sama kuatnya.

Romain Grosjean (FRA) is pulled clear of his burning Haas VF-20 by Dr Ian Roberts (GBR) FIA Doctor at the start of the race.
Romain Grosjean (FRA) is pulled clear of his burning Haas VF-20 by Dr Ian…
© xpbimages.com

Itu bukan satu-satunya plot di episode dengan durasi paling lama di Season 3, Netflix juga membahas kemenangan perdana Sergio perez di Sakhir, yang mengantarnya menuju kursi Red Bull musim 2021.

Meskipun pembahasan soal alur cerita tertentu sangat bagus, rasanya masih banyak yang kurang dari DTS Season 3. Penggunaan radio dan rekaman tim yang tidak sesuai membuat fans berat F1 kecewa, salah satunya saat insiden Leclerc dan Vettel di Styria, yang terdengar seperti team radio dari Brazil 2019.

Selain itu, di balapan terakhir yang fokus di Abu Dhabi, justru muncul sedikit footage dari Bahrain. Detail kecil memang, tapi tetap saja mengganjal. Selain itu, banyak juga hal penting lain yang terlewat di DTS 3.

Box to Box hampir tidak menyorot kemenangan Lewis Hamilton di Turki yang memastikan titel juara dunia ke-7, atau saat ia memecahkan rekor Michael Schumacher dengan kemenangan ke-92 di Portimao.

DTS 3 juga kurang mengangkat dampak COVID-19 terhadap F1, di mana beberapa pembalap harus absen akibat positif Corona, yakni duo Racing Point, Sergio Perez dan Lance Stroll, dan Hamilton. 

Nama terakhir yang disebut memberi kita plot lain, debut brilian George Russell di Sakhir, meski berakhir tragis dengan hanya finis kesembilan. Kemunculan Nico Hulkenberg sebagai "sopir tembak" Racing Point juga patut dibahas, khususnya di F1 GP Eifel.

Jangan lupakan juga akhir dari sebuah era di Williams F1. Karena dilanda kesulitan finansial, Frank Williams harus menjual tim Formula 1 miliknya ke Dorilton Capital, alhasil putrinya, Claire, harus mundur dari posisi sebagai Team Principal setelah akhir pekan F1 GP Monza. 

Upaya anti-rasisme dan Black Lives Matter Hamilton secara singkat disebutkan di akhir episode terakhir, tetapi itu tidak cukup mengingat besarnya masalah ini dalam masyarakat kita akhir-akhir ini, dan pentingnya keberagaman serta inklusi dalam Formula 1.

Secara umum, Drive to Survive Season 3 cukup menghibur, dan cukup mengasyikkan.

Terlepas dari inkonsistensi, penafsiran yang terlalu dipaksakan, dan beberapa poin penting terlewat yang hanya diperhatikan fans F1, serial ini menghadirkan kisah menarik dari ajang balap mobil paling bergengsi se-jagat raya.

Pilihan topik yang lebih baik akan menjadi pelengkap, tetapi tidak diragukan lagi musim ketiga Drive to Survive menampilkan olahraga yang kita sukai dan menyoroti banyak bagian terbaik F1 untuk menarik penggemar baru.

Beri tahu kami pendapat Anda tentang musim terbaru Drive to Survive di kolom komentar di bawah!

Review Formula 1 Drive to Survive S3: Menghibur, tapi Kurang Lengkap

Read More